Tidak kurang dari seratus keluarga miskin di kota Madinah biasa memperoleh kebutuhan sehari-hari, karena hampir setiap malam sering menemukan karung berisi roti dan tepung didepan rumah mereka tanpa mengetahui dari mana dan siapa yang memberikannya kepada mereka. Mereka menyebutnya dengan SHADAQAH RAHASIA. Kejadian tersebut berlangsung cukup lama, sampai suatu ketika ada seorang sholih wafat ditengah-tengah mereka.
Sejak kematian orang sholih tersebut, penduduk miskin Madinah mengeluh, karena mereka tidak mendapatkan shodaqoh rahasia lagi. Orang-orang akhirnya mengetahui bahwa orang sholih yang wafat itulah yang melakukannya. Ketika wafatnya, orang-orang yang memandikannya melihat warna hitam di pundaknya. Itulah bekas hitam yang tertinggal, karena hampir setiap malam ia pikul dengan pundaknya sendiri karung-karung berisi roti dan tepung untuk dibagikan kepada penduduk miskin kota Madinah. Siapakah orang sholih itu …… ?
Dialah …. Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dengan nama lengkap ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husein bin ‘Ali bin Abi Tholib, seorang sholih yang lahir dari silsilah emas keluarga Rasululloh saw.Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin sangat mencintai orang-orang miskin, hamba sahaya serta kaum lemah. Ia sering mengunjungi mereka, dan duduk berbincang-bincang dengan ramah dan penuh kasih sayang.
Ketika ditanyakan kepadanya mengenai hal itu, jawabnya : “ Aku senang duduk bersama orang yang mendatangkan manfa’at bagiku dan agamaku “.Setiap kali datang peminta-minta kepadanya, ia selalu menyambutnya : “ Selamat datang saudaraku yang akan memikul sebagian bekalku ke akhirat “, karena setiap sedekah yang dikeluarkan, merupakan bekal yang akan menolongnya di akhirat.Ia gemar sekali mengajak kaum fakir miskin, anak-anak yatim ataupun orang-orang cacat untuk duduk bersantap bersamanya, dan melayani mereka dengan tangannya. Seringkali meraka pulang kerumahnya dengan membawa bekal untuk keluarga mereka.
Ada lagi kisah menarik mengenai pribadi beliau. :
Suatu ketika ada sekumpulan kafilah muslimin yang mencintai Makkah, berhenti sejenak dikota Madinah untuk beberapa hari untuk meneruskan perjalanannya ke Kota Makkah. Pada saat itu seseorang yang meminta izin untuk bergabung dengan Kafilah tersebut, bahkan meminta izin untuk memenuhi keperluan Jama’ah.
Ditengah perjalanan, antara Makkah dan Madinah, mereka mampir di sebuah rumah, dan secara kebetulan meraka bertemu dengan kenalan lama. Ketika sedang berbincang, mata orang itu (tuan rumah) tertuju kepada orang Sholih yang ikut serta di dalam Kafilah. Orang sholih itu begitu rajin dan begitu intensnya melayani dan mengatur barang-barang keperluan kafilah. Dia kenal betul dengan orang sholih itu sebenarnya.
Kenalkah kalian siapa “pelayan” itu ? tanyanya. “Tidak” jawab mereka : ” dia ikut rombongan kami ketika kami singgah di Madinah. Dia sangat bertaqwa dan sangat Sholih. Sebenarnya kami tidak memintanya untu melayani kafilah ini. Dia sendiri datang dengan sukarela dan melakukan semua itu.”“Tentu kalian tidak mengenalnya, seandainya kalin kenal, pasti kalian tidak akan membiarkannya melakukan semua ini?” sahutnya. ”Siapa sih orang itu?”.”Dialah Ali bin Husein bin Ali bin Abi Tholib, yang dikenal dengan Zaenal Abidin.” ”Ali Zaenal Abidin?” sahut rombongan terpengarah.
Dengan serta merta seluruh rombongan kafilah berdiri hendak mencium tangan Imam Ali Zaenal Abidin, sebagai tanda permohonan maaf karena mereka merasa telah melakukan dosa besar menghina dan merendahkan martabat Imam. Kemudian mereka bertanya,”Wahai Imam, mengapa anda melakukan hal ini kepada kami ?”,
Jawab Ali Zaenal Abidin,”Karena alasan tidak kenal inilah, aku memilih kalian sebagai teman perjalananku. Kadang aku berjalan jauh dengan orang-orang yang mengenalku, lalu disebabkan hubunganku dengan nabi meraka menghormati sepanjang perjalanan. Mereka tidak mengizinkanku melayani dan mengurus keperluan-keperluan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku memilih kawan-kawan seperjalanan yang tidak mengenalku dan aku tidak memperkenalkan diriku kepada mereka, agar aku berkesempatan untuk melayani dan berkhidmat kepada mereka.
Imam Ali Zaenal Abidin lahir pada hari Sabtu, 15 Jumadil Awal 36 H. Sejak lahir beliau sudah kehilangan ibu karena setelah beliau lahir, ibunya Syahzanan, meninggal dunia. Ketika kakeknya Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib mendengar berita kelahirannya, beliau bersujud kepada Alloh SWT. Beliau menamainya dengan namanya sendiri Ali.
Rupanya kematian ibunya ketika ‘Ali Zaenal ‘Abidin masuh bayi merupakan rangkaian awal penderitaan hidupnya. Pada usianya yang keempat tahun ia menyaksikan kakeknya yang dicintainya, Ali bin Abi Tholib, pulang dari masjid dalam keadaan kepala berlumuran darah karena ditikam oleh pedagang Abdurrahman bin Muljam seorang Khawarij, kejadian itu tepatnya tanggal 19 Ramadlan 40 H. Sebelum kematian ‘Ali bin Abi Tholib, ‘Ali kecil dengan hati kanak-kanak yang masih bening, ia turut mendengarkan nasihat terakhir ‘Abli bin Abi Tholib untuk ayahnya (Husein) dan pamannya (Hasan). Kata Agung, Lafdhul Jalaalah,”Allah, Alloh”, yang diucapkan kakekya berulang kali di sela-sela pembicraannya yang tidak pernah hilang dari qalbunya.Akhirnya pada pucak kemudaannya, tepatnya 10 Muharram 61 H, beliau menjadi saksi hidup tragedi terbesar ummat manusia yaitu Karbala. Ia adalah satu-satunya putra Husein bin ‘Ali yang selamat dari pembantaian tentara Yazid bin Mu’awiyah (penguasa Dhalim Bani ‘Umayyah). Ia selamat karena pada saat itu sedang sakit tinggal di kemah bersama kaum wanita dan anak-anak. Sementara kaum lelaki terdiri dari ayahandanya (Husein) bersama tujuh puluh dua orang keluarga pergi berperang melawan pasukan Yazid yang berjumlah empat ribu orang. Kejadian tersebut berlangsung di tanah Karbala (Irak),
Saat itu Husein dikhianati oleh pengikutnya yang mengakibatkan harus berhadapan dengan tentara Yazid. Meraka dikepung ditengah-tengah kegersangan padang pasir dan dicegah dari air minum beberapa hari.
Sebagai saksi hidup, tentu hanya ‘Ali yang merasakan beratnya mata memandang. Ia melihat pemandangan yang mengerikan dan tak terlupakan. Ia melihat satu persatu bongkah-bongkah daging yang tercabik seperti hewan qurban, padahal itu adalah jasad ayahnya, saudara-saudaranya, karib kerabatnya, dan shahabat-shahabatnya.
Puncak paling menyedihkan pada peristiwa tersebut adalah ketika ayahnya (Husein) ditebas lehernya hingga kepalanya terputus, bahkan mulut Husein pun yang kepalanya telah lepas ditusuk-tusuk dengan tombak tajam oleh tentara Yazid. Husein salah seorang cucu Rasululloh SAW, yang ketika kecil Rasululloh saw sering mencium mulut dan lehernya, ketika itu mengalami nasib yang mengenaskan.
Setelah peristiwa Karbala, ia yang tinggal di kemah bersama kaum wanita dan anak-anak hampir saja dibunuh oleh tentara Yazid yang menyeruak kedalam kemah, seandainya tidak dipertahankan mati-matian oleh Zaenab bin Ali, adik ayahnya. Kemudian rombongan yang terdiri dari ia(‘Ali Zainal ‘Abidin), kaum wanita dan anak-anak digiring sebagai tawanan, diarak ratusan kilometer dalam keadaan terbelenggu dihadapkan ke hadapan Yazid penguasa Bani Umayyah yang dhalim. Atas perlindungan Alloh Swt akhirnya mereka dibebaskan dan menetap di Madinah.
Dua puluh tahun lamanya ‘Ali Zaenal ‘Abidin menangisi Karbala. Setiap dihidangkan makanan atau minuman yang ia menangis. Ia berkata,”Bagaiman aku bisa makan padahal Abu Abdillah (gelar nama ayahnya, Husein) dibunuh dalam keaadan lapar? Bagaiman aku bisa minum padahal abu Abdillah di bunuh dalam keaadan haus?.”
Para pembantunya jatuh iba kepadanya dan menasihatinya,”tidakkah sekarang sudah waktunya untuk menghentikan kesedihan dan mengurangi tangisan.!!!”
Ali menjawab,: ”Celakalah kamu, ingatkah kamu Nabi Ya’kub yang mempunyai dua belas orang anak. Salah seorang diantaranya (Yusuf) dihilangkan Alloh. Matanya memutih dan punggungnya melengkung karena terlalu banyak menangis, padahal anaknya yang hilang masih hidup. Aku terkenang pada ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan tujuh belas orang anak pamanku. Aku terkenang bibiku dan saudara-saudaraku perempuan dikelilingi penduduk Kuffah. Mereka meminta pertolongan dan menangisi orang-orang yang terbunuh. Demi Alloh, setiap kali mengenangnya air mataku tumpah tak tertahankan.”
Kadang-kadang Ali berangkat ke pasar. Bila ia melihat tukang jagal yang akan menyembelih kambing atau binatang lainnya, ia mendekatinya. Ia bertanya dengan suara bergetar,”Sudah kau beri minumkah dia?” Jagal itu menjawab,”Tentu saja duhai putra Rasululloh. Kami tidak pernah menyembelih hewan sebelum memberi minumnya walaupun sedikit.” Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin menangis seraya bergumam,”Abu Abdillah disembelih dalam keadaan kehausan.”
Bila ada orang dari negeri jauh datang. Ia mengundang ke rumahnya. Ia menjamunya, di hadapan orang banyak ia bertanya kepada tamunya, ”menurut pendapatmu, sekiranya kamu dijemput maut dalam keadaan terasing dari keluargamu, adakah orang yang memandikan dan mengkafanimu?” Orang-orang yang hadir berkata,”Wahai putra Rasululloh, semua kami akan melaksanakan tugas itu,” Mendengar itu, Imam menangis, ”Abu Abdillah (Husein) dibunuh di negri asing. Ia dibiarkan tiga hari tergeletak dijemur panas matahari, tidak dimandikan dan tidak dikafani.”
Ajaibnya, duka yang sangat mendalam itu tidak memperdalam dendam kepada siapapun. Senantiasa di telinga Ali pesan terakhir ayahnya, ”Anakku !!! aku washiyatkan kepadamu apa yang diwashiyatkan datukmu Rasululloh SAW sebelum wafatnya kepada ‘Ali, kemudian diwashiyatkan lagi oleh kakekmu kepada pamanmu Hasan dan dari pamanmu kepadaku,: “ Jauhilah olehmu berbuat dhalim kepada orang yang tidak punya penolong selain Alloh.”
Washiyat itu disampaikan justru pada detik-detik terakhir ketika semua keluarga Rasululloh SAW. di dhalimi tanpa pembela selain Alloh. Alih-alih membalas dendam, ‘Ali diingatkan untuk tidak mendhalimi orang-orang yang sudah tidak berdaya. Karena itu betapapun pedihnya penderitaan, ‘Ali tidak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun, bahkan kepada musuh-musuhnya yang menyakiti hatinya. Dari ayahnya, ‘Ali bukan hanya belajar tabah dalam menegakkan keadilan, tetapi juga membersihkan hati dari dendam kesumat dan kebencian.
Hatinya hancur karena derita panjang membuat ia sangat sensitif pada penderitaan orang lain, apalgi kepada mereka yang dirundung malang ditimpa duka. Setiap malam, ketika manusia tidur, sebelum ia bemunajat kepada Alloh ia memikul makanannya sendiri untuk penduduk Madinah yang miskin. Sebelum menyembah Alloh ia berkhidmat kepada makhluk-Nya.kepada siapa saja yang meminta tolong kepadanya, ia menyambutnya dengan ramah : ” Selamat datang, duhai saudaraku yang memikul bekalku untuk hari akhirat ! ”
Imam Ali Zaenal mendapat gelar Zaenal Abidin artinya”pemuka ahli Ibadah” karena rajin ibadahnya. Dia pun mendapat gelar “As-Sajjad” yang berarti “Amat banyak sujudnya “.
Ali Zaenal Abidin lebih suka menyendiri dan memusatkan hidupnya pada ibadah dan pendekatan diri kepada Alloh SWT. Sedemikian rupa sehingga keluarganya khawatir akan kesehatan dan keselamatannya. Mereka melihat betapa ia seakan-akan “Melumatkan” dirinya dalam Sholat, sehingga kulit dahinya menjadi kasar kehitam-hitaman karena terlalu lama dan terlalu sering sujud, begitu pula telapak tangan dan kakinya bengkak karena terlalu banyak sujud dan berdiri.
Putra beliau Muahammad Al-Baqier bercerita mengenai ayahnya, ”Setiap kali ia teringat atau menyebut suatu nikmat Allah ia langsung bersujud ; Setiap kali ia membaca Al-qur’an yang di dalamnya ada sebutan tentang sujud, maka ia pun bersujud ; setiap kali ia menyelesaikan Sholat fardlu, ia bersujud ; setiap kali ia mendamaikan antara dua orang, ia bersujud. Bekas-bekas sujudnya tampak tiap sujudnya. Karena itu ia di juluki “As-Sajjad”.Dan ia berkata pula tentang ayahnya, ”Ia berdiri dalam Sholatnya sebagai layaknya seorang hamba yang hina di hadapan Raja Agung. Tubuhnya gemetar karena takutnya kepada Alloh SWT. Dan sikapnya dalam sholat seperti sikap sholat orang yang menghadapi akhir hayatnya, seakan-akan tidak ada berkesempatan untuk sholat lagi selama-lamanya.”
Seringkali wajahnya pucat pasi setelah selesai berwudlu. Dan kadang-kadang setelah itu, ia jatuh pingsan. Ketika ditanya kenapa ia begitu, ia menjawab, ”Tidakkah kalian tahu siapa gerangan di depan yang akan kalian hadapi ?”. Menurut riwayat beliau tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud setiap malam, baik berada di kediaman maupun berada dalam perjalanan jauh.”
Dengarkan dia ketika bermunajat dan berdo’a, anda pasti tidak akan mampu menahan diri dari tangisan, kekhusyuan dan kehancuran hati. Dengarkan dia seperti yang disampaikan kepada kita oleh Thawus Al Yamani : Aku melihat Ali Zaenal Abidin bin Husein berthowaf dan beribadat dari sejak ‘Isya sampai dini hari. Ketika ia tidak melihat seorang pun, ia menengadah ke langit : ”Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Mata-mata makhluk-Mu telah tertidur. Tetapi pintu-Mu masih terbuka buat peminta. Aku menghadap-Mu memohon agar Kau ampuni daku, Kau sayangi daku, Kau perlihatkan kepadaku wajah datukku muhammad SAW, di padang Qiyamat nanti.”
Ia menagis dan berdo’a : Demi keagungan dan kemuliaan-Mu. Dengan maksyiatku, tidaklah aku bermaksud untuk menentang-Mu. Ketika aku melakukan kemaksyiatan, bukanlah karena aku ragu atas-Mu, bukan karena aku tidak tahu atas balasan-Mu, bukan juga karena melawan hukum-Mu. Tetapi nafsu menguasai diriku. Tirai yang kau tutupkan padaku menyebabkan aku berani melakukan itu. Sekarang … siapa gerangan yang dapat menyelamatkan daku dari ‘adzab-Mu? Kepada tali siapa lagi aku harus bergantung jika kau putuskan tali-Mu? Alangkah malangnya aku kelak bersimpuh di hadapan-Mu. Waktu kepada orang yang ringan timbangannya diperintahkan : ambil balasanmu. Kepada orang yang berat timbangannya dikatakan : beruntunglah kamu. Apakah aku mendapat balasan bersama orang yang ringan amalnya? Celakalah daku. Bertambah usiaku, bertambah juga dosa-dosaku. Aku tidak bertaubat. Belum datangkah saatnya aku malu menemui Tuhanku?
Ia menangis lagi seraya mendendangkan puisi :
Akankah Kau bakar diriku dengan neraka
Duhai tujuan segala harapan
Dimanakah harapanku, Dimanakah cintaku
Aku datang kepada-Mu dengan amal buruk dan hina
Di tengah makhluk ini
Tidak ada orang jahat seperti kejahatanku
Kemudian ia menangis lagi, ”Duhai tuhanku, Engkau dilawan seakan-akan Engkau tidak melihat. Engkau tetap santun seakan-akan Engkau tidak pernah dilawan. Engkau berusaha merebut cinta makhluk-Mu yang paling baik, seakan-akan Engkau perlu kepada mereka. Padahal Engkau junjunganku, tidak bergantung kepada mereka.” Kemudian, ia rebah ke tanah bersujud.
Thawus melanjutkan kisahnya, ”Aku mendekati dia. Aku angkat kepalanya ke pangkuanku. Aku menangis sampai air mataku jatuh ke pipinya. Ia bangkit dan duduk. Ia berkata, ”Siapa yang mengganggu dzikirku terhadap tuhanku?” Aku menjawab : ”Wahai putra Rasululloh, untuk apa jerit tangis ini ? Sesungguhnya orang seperti aku inilah yang harus berbuat apa yang telah engkau lakukan. Bukaknkah kami yang selalu berbuat dosa ! Sedangkan ayahmu adalah Husein bin Ali, Ibumu Fathimah az-Zahra, dan datukmu Muhammad SAW ?”.
Ia menoleh dan berkata : ” Hai Thawus, jangan sekali-sekali kamu menyebut ibuku, bapakku, dan datukku. Alloh menciptakan sorga untuk siapa saja yang mentha’ati-Nya dan berbuat baik, walaupun dia hamba dari Afrika. Ia menciptakan neraka bagi siapa saja yang menentang-Nya walaupun ia seorang Sayyid dari Quraisy. Tidakkah kau dengar firman Alloh : Apabila sangsakala ditiup tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka dan hari itu tidak pula mereka saling bertanya. Demi Alloh, untuk hari esok tidak ada lagi yang bermanfa’at selain amal sholih yang kau kerjakan.
Demikianlah sekelumit tentang kisah hidup seorang Sholih dari silsilah emas keluarga Rasululloh SAW. Warisan beliau adalah “Shahifah Sajjadiah” berisi kumpulan munajat-munajat beliau yang akan disajikan pada lembaran-lembaran berikut walaupun tidak semuanya dikutip. Mudah-mudahan kita bisa mencontoh dan mengambil berkah dari kehidupan beliau. Bukankah dalam Sholat kita selalu membaca surat al-Fatihah, tunjukan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat. Siapa mereka ? Yaitu jalan yang ditempuh oleh para nabi, para Shiddieqien, para syuhada dan para sholihin. Salah satu dari mereka adalah Imam ‘Ali Zaenal ‘Abidin.
Imam Ali Zaenal Abidin wafat dalam usia 57 tahun. Beliau kembali kehadirat Alloh Swt dengan meninggalkan beberapa orang putra dan putri, diantaranya adalah Muhammad Al-baqier dan Zaid bin Ali (Asy-Syahid). Beliau dimakamkan di Baqi (Madinah) dekat dengan makam pamannya, hasan bin Ali bin Abi Tholib.Semoga Alloh melimpahkan kedamaian atas mereka semua. Amin ya Alloh ya Robbal ‘alamien. [FB Note; Muhamad Syarifi]
Quotes from 12 Imams
Mencintai keindahan adalah fitrah. Sampaikan keindahan Ahlul Bait dan keindahan ajaran mereka dengan cara yang indah. "Kalau manusia mendengar keindahan ucapan-ucapan kami, niscaya mereka akan mengikuti kami" (Imam Ridha as).
0 comments:
Post a Comment