Contributors

Don't miss

Sunday, March 28, 2010

Putri Syahid (Kisah Nyata Gadis Lebanon)


By on 3/28/2010 05:18:00 PM


Hari itu, ibu wali kelasku berkata, "Kalian harus menyerahkan kembali rapor ini setelah ditandatangani ayah kalian."
Aku bertanya, "Bagaimana jika ayah tak ada di rumah? Apa yang harus kulakukan?"

"Tunggu hingga ayahmu pulang. Pokoknya, harus ayah kalian yang menandatangani rapor ini," kata ibu wali kelas.

Kembali aku bertanya, "Bagaimana jika ibu yang membubuhkan tanda tangan?"
Dengan nada kesal, ibu wali kelas berkata, "Tidak boleh! Harus ayah yang menandatanganinya."

Sesampainya di rumah, ibu bertanya padaku, "Kenapa engkau terlihat sedih?"
Aku hanya terdiam dan berusaha menyembunyikan kesedihanku. Tapi hatiku hancur luluh. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali hanya menangis dan menangis.

Lalu aku naik ke loteng. Kuambil foto ayah dan kuletakkan di atas lantai. Setelah itu, aku menaruh buku raporku di depan foto ayah seraya berkata, "Ayah, tandatanganilah rapor ini! Engkau harus melakukannya! Engkau harus melihat nilai pelajaran anakmu! Lihatlah, apa yang telah dia kerjakan selama setahun ini, saat engkau tak ada di rumah!

Bukankah seorang syahid itu hidup?! Buktikan kalau engkau memang hidup. Tunjukkan tanggung jawab seorang ayah.

Ayah, aku tidak menceritakan pada guru dan teman-temanku bahwa engkau telah gugur syahid di medan perang melawan Zionis Israel. Sebab, aku tak ingin mereka menghormati dan memuliakanku lantaran darahmu yang tertumpah di jalan kebenaran.

Aku selalu berusaha untuk tidak melakukan kesalahan di sekolah, sehingga mereka memaksaku untuk memanggilmu ke sekolah. Jika mereka tahu, bahwa ayahku gugur syahid, mereka pasti memaafkan kesalahanku, bahkan meminta maaf padaku. Aku merasa tidak layak mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu."

Setelah mengutarakan semua isi hatiku, aku menangis keras dan memohon agar ayah sudi melihat dan menandatangani raporku.

Aku tak tahu pasti, apakah saat itu aku tertidur atau terjaga. Tiba-tiba aku mencium aroma harum semerbak yang memenuhi ruangan. Aku tak mengenali aroma itu, seperti aroma bunga mawar tapi lebih lembut.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Aku melihat sinar putih membias di pintu. Lalu aku melihat ayah berdiri di pintu dengan pakaian serba putih. Wajahnya bersinar terang bagai bulan purnama. Aku tak ingat, pakaiannya yang lebih bersinar terang ataukah wajahnya. Sehelai pita merah terikat di kepalanya yang tergores tulisan bercahaya: "Kami merindukan kematian sebagai syahid".

Dia tersenyum manis laksana sekuntum bunga yang sedang mekar. Tatapannya begitu lembut, membuatku meneteskan airmata.

Ayah bergerak mendekatiku dan mengambil foto dan rapor yang tergeletak di lantai. Lalu dia mengeluarkan sebuah pena dan menandatangani raporku.
Kemudian dia menatapku dan meletakkan kedua tangannya di wajahku seraya mengusap airmataku. Dia memegang kepalaku dan mencium keningku. Sampai sekarang, aku masih merasakan kehangatan bibirnya di keningku. Akupun mencium lehernya, tempat di mana ibu tak mengijinkanku menciumnya. Ibu juga menyalahkan mereka yang membiarkanku melihat luka di leher ayah.
Ayah tersenyum ketika aku mencium lehernya. Hatiku menjadi tenang. Lantas aku peluk ayah erat-erat dan enggan berpisah dengannya. Dengan suara lirih aku berkata, "Ayah, jangan pergi! Kami hidup seorang diri."

Ayahku berkata, "Putriku sayang, kalian tidak sendirian. Allah senantiasa menyertai kalian. KETIKA KALIAN BERSAMA ALLAH, KALIAN SAMA SEKALI TIDAK PERNAH SENDIRIAN. Aku juga tak akan pergi ke mana-mana dan akan selalu menemani kalian. Tanyalah ibumu; tak sehari pun ibumu tidak melihatku dan berbincang-bincang denganku."

Aku mengatakan, "Ayah, pikirkanlah nasib Nahid, putrimu yang masih kecil. Sampai sekarang dia tidak mengerti bahwa ayah telah gugur syahid. Dia mengira ayah sedang bepergian. Seringkali dia duduk di depan pintu menanti kedatanganmu. Setiapkali mendengar suara bel, dia langsung berdiri dan memaksa ibu membuka pintu."

Sewaktu kuceritakan kisah ini, mata ayahku terlihat berkaca-kaca dan hanya berkata, "Aku mengerti, wahai putriku sayang."

Kukatakan, "Wahai ayah, engkau telah menandatangani rapaorku. Hatiku menjadi tenang. Aku yakin, ayah tetap hidup. Karenanya, lakukanlah satu hal lagi untukku."

Dengan penuh keheranan,ayah mengangkat kepalanya dan setitik airmata bening menetes dari sudut matanya, "Apa yang harus kulakukan?"
Aku menjawab, "Tandatanganilah hati Nahid agar tenang!"
Di tengah tangisnya, tiba-tiba ayah tersenyum dan berkata, "Allah Swt yang akan menandatangani hati Nahid, adikmu."

Setelah mengucapkan itu, dengan perlahan ayah meninggalkanku. Tiba-tiba aku tersadar dan tak kulihat lagi sosok ayah. Aku segera berlari ke pintu lalu berteriak memanggilnya. Tapi ayah sudah pergi.

Sekarang, inilah raporku yang sudah dibubuhi tanda tangan ayah. Inilah aroma ayah yang masih memenuhi ruangan dan hatiku."

[Jawone Osemon]

Quotes from 12 Imams

Mencintai keindahan adalah fitrah. Sampaikan keindahan Ahlul Bait dan keindahan ajaran mereka dengan cara yang indah. "Kalau manusia mendengar keindahan ucapan-ucapan kami, niscaya mereka akan mengikuti kami" (Imam Ridha as).

0 comments:

Post a Comment