Contributors

Don't miss

Monday, May 4, 2015

Riwayat Singkat Sayyidah Fatimah as.


By on 5/04/2015 01:26:00 PM

Nama               : Fatimah
Julukan         : Az-Zahra, Al-Batul,  At-Thahirah
Ayah               : Mahammad saw.
Ibu                   : Khadijah binti Khuwailid
Kelahiran         : Jumat 20 Jummadil Akhir
Tempat            : Makkah Al- Mukarramah
Wafat               : Madinah, Tahun 11 H
Makam             : Tidak diketahui

Hari Lahir
Fatimah as. dilahirkan pada tahun ke-5 setelah pengangkatan Muhammad saw. menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' Mi’raj Rasulullah saw.
Sebelumnya, Jibril as. telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.

Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as. hidup dan tumbuh di haribaan  wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah swt. dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw. melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, Aisyah  bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau  mengatakan. “Wahai Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku”.
Kaum muslimin telah mendengar sabda  Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah swt. telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra as. menyerupai ayahnya Muhammad saw. dari sisi rupa dan  akhlaknya.
Ummu Salamah ra., istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga Aisyah. Ia berkata bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as. mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya Khadijah as. wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika  masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara dengan sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw. memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.

Pernikahan Fatimah as.
Setelah Fatimah as. mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw. menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, ”Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as)".
Kemudian, Jibril as. datang untuk  mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as. datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan:
“Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah as. diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir: "Allahu Akbar...! Diamnya adalah tanda kerelaannya”.

Acara Pernikahan
Rasulullah saw. kembali menemui Ali as. sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata: “Bangunlah! 'Bismillah Barakatillah, Masya Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah".
Kemudian, Nabi saw. menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk".
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata: “Wahai ‘Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu”.
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan: “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia  bermaksud  menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw. mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang  sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka  hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah swt. saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as. senantiasa mendukung perjuangan Ali as. dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as. senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga  berupaya untuk  meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali  Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as. merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan  didikan Al-Qur'an.

Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayyidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan  “Ya Amirul Mu’minin”, wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as. dan Sayyidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya .

Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as. melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama  “Hasan”. Rasul saw. sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau  pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husein. Demikianlah  Allah swt. berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw. dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka  sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw. keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di  haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw. lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husein. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan: “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as.  melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw. teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as. itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah swt. menghendaki keturunan Rasul saw. berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.

Kedudukan Fatimah  Az-Zahra as.
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat,  tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta.  Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau  dikenal sebagai “Sayyidatun Nisail Alamin”,  yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti Imran, Asiah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayyidah Fatimah as. adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau  adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau  selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husein dan Zainab as. adalah anak-anak  teladan yang tinggi  akhlak dan kemanusiaan mereka.

Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada, Rasulullah saw.  jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as. bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah  berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw. membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah  pun   segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw. meninggalkan dunia  dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw. merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.           
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as. mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra as. berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as. melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayyidah Fatimah as. secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam  bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw.  akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as. meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayyidah Fatimah as. pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah swt".
Sayyidah Fatimah as. diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau  berwasiat agar  dikuburkan di tengah malam secara rahasia.

Kepergian Putri Tercinta Rasul 
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatmah Az-Zahra as. sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammad ar-Rasulullah.
Kerinduan Sayyidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayyidah Fatimah as. saat meninggalkan dunia. Beliau  tinggalkan Hasan  yang masih 7 tahun, Husein yang masih 6 tahun, Zainab  yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
 Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayyidah Fatimah as. memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada  suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci  beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra as. senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as. duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as. mengucapkan salam:
      “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku... Putrimu kan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”.

Quotes from 12 Imams

Mencintai keindahan adalah fitrah. Sampaikan keindahan Ahlul Bait dan keindahan ajaran mereka dengan cara yang indah. "Kalau manusia mendengar keindahan ucapan-ucapan kami, niscaya mereka akan mengikuti kami" (Imam Ridha as).

0 comments:

Post a Comment