Nama : Fatimah
Julukan : Az-Zahra, Al-Batul, At-Thahirah
Ayah : Mahammad saw.
Ibu : Khadijah binti Khuwailid
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir
Tempat : Makkah Al- Mukarramah
Wafat : Madinah, Tahun 11 H
Makam : Tidak diketahui
Hari Lahir
Fatimah as. dilahirkan pada tahun ke-5 setelah pengangkatan Muhammad saw.
menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' Mi’raj
Rasulullah saw.
Sebelumnya, Jibril as. telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan
kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci
Makkah.
Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as. hidup dan tumbuh di haribaan
wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah
yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah swt. dan ayat-ayat suci
Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw. melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau
langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, Aisyah bertanya
kepada Rasulullah saw. tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar
kepada Fatimah as.
Beliau mengatakan. “Wahai Aisyah,
jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan
mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia
tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan
barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku”.
Kaum muslimin telah mendengar sabda
Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama
Fatimah karena dengan nama itu Allah swt. telah melindungi setiap pecintanya
dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra as. menyerupai ayahnya Muhammad saw. dari sisi rupa
dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra., istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang
yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga Aisyah. Ia berkata bahwa
Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan
pikirannya.
Fatimah as. mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya Khadijah as. wafat, beliaulah yang merawat
ayahnya ketika masih berusia enam tahun.
Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai
cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah
terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan
kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda
tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara dengan sang ayah dengan kata-kata dan
obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu,
Rasulullah saw. memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi
ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Pernikahan Fatimah as.
Setelah Fatimah as. mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk
beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang
berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah
saw. menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, ”Saya
menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as)".
Kemudian, Jibril as. datang untuk
mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah
dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as. datang menghadap
Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as.
Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya
menyatakan:
“Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali
kekerabatan, keutamaan dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada
Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang
pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana
pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah as. diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir:
"Allahu Akbar...! Diamnya adalah tanda kerelaannya”.
Acara Pernikahan
Rasulullah saw. kembali menemui Ali as. sambil mengangkat tangan sang
menantu seraya berkata: “Bangunlah! 'Bismillah Barakatillah, Masya Allah la
quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah".
Kemudian, Nabi saw. menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah.
Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang
paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan
peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya
dari setan yang terkutuk".
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia.
Kepada Ali, beliau berkata: “Wahai ‘Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu”.
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan: “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami
adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan
kerumunan wanita yang berasal dari kaum Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim,
telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang
kelak menjadi benih bagi Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran
jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali
tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri
selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud
menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw. mencegahnya, karena Islam
memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw.
Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot
rumah tangga yang sederhana guna
memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di
samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah swt. saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua
hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di
atas jalan-Nya.
Fatimah as. senantiasa mendukung perjuangan Ali as. dan pembelaannya
terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya
senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah
yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang
senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as. senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami,
juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya.
Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul
tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan
ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as. merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke
bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan
cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan
didikan Al-Qur'an.
Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan
manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta,
dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami
istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan
rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari
keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta
Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam
Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayyidah Fatimah sendiri menyapanya
dengan panggilan “Ya Amirul Mu’minin”,
wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as. dan Sayyidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi
orang tua terhadap anak-anaknya .
Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as. melahirkan putra pertamanya yang oleh
Rasulullah saw diberi nama “Hasan”.
Rasul saw. sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan
dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat
Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husein. Demikianlah Allah swt. berkehendak menjadikan keturunan
Rasulullah saw. dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan
penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan
mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw. keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya.
Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di
haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw. lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau
mendengar tangisan Husein. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih
mengatakan: “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan
menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as.
melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul
saw. teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua
putri Fatimah as. itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah swt. menghendaki keturunan Rasul saw. berasal dari
putrinya Fatimah Zahra as.
Kedudukan Fatimah Az-Zahra as.
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat,
tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap
kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang
paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki
ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatun
Nisail Alamin”, yakni Penghulu Wanita
Alam Semesta.
Bila Maryam binti Imran, Asiah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid,
mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayyidah Fatimah
as. adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama
hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri
teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang
ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as,
beliau selalu merawat dan melayani
suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya
merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik
anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak
yang luhur dan mulia. Hasan, Husein dan Zainab as. adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada, Rasulullah saw. jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan
akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as. bergegas menghampiri
beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh
berderai, Fatimah berharap agar sang
maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw. membuka kedua matanya dan mulai memandang
putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya
untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun
segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci
Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan
detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah
menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat
dewasa.
Rasul saw. meninggalkan dunia dan
ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw. merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya,
sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan
malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as. mendapat pukulan yang lebih berat
lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak
suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra as. berupaya
untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as. melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan
Sayyidah Fatimah as. secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh
perjuangan Rasul saw. akan sirna, dan
manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as. meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan
bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayyidah Fatimah as. pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan
dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah
kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah swt".
Sayyidah Fatimah as. diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan
beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup.
Demikianlah ihwal Fatmah Az-Zahra as. sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa
lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan
senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada
kalimat Asyhadu anna Muhammad ar-Rasulullah.
Kerinduan Sayyidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin
menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah.
Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah
tercinta.
Demikianlah keadaan Sayyidah Fatimah as. saat meninggalkan dunia.
Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husein yang masih 6
tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan
Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan
ini, ia harus meninggalkan suami termulia Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad
dan teman hidupnya di segala medan.
Sayyidah Fatimah as. memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan
kepada suaminya akan anak-anaknya yang
masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya
secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci
beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar
dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra as. senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan
penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun
kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as. duduk di samping kuburannya, diiringi
kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as. mengucapkan salam:
“Salam sejahtera bagimu duhai
Rasulullah... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang
paling cepat datang menjumpaimu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas
kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku... Putrimu kan
mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan
yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian
berdua!”.
0 comments:
Post a Comment