Contributors

Don't miss

Sunday, May 3, 2015

Riwayat Singkat Imam Ali as.


By on 5/03/2015 03:04:00 PM

Nama                      : Ali bin Abi Thalib
Gelar                       : Amirul Mukminin
Panggilan                : Abul Hasan
Kelahiran                : Makkah, 23  tahun Sebelum Hijrah
Kesyahidan             : Tahun 40 H
Masa Khilafah        :  5 tahun
Usia                         : 63 tahun
Makam                    : Najaf Asyraf, Irak

Hari Lahir

       Pada hari Jum'at, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum Hijrah, lahirlah dari keluarga  Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam semesta.
Ketika paman Nabi saw. yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu'nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah swt.  Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk. 
Dalam doanya itu ia berkata, "Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka.  Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil, dialah yang membangun kembali Ka'bah yang mulia.  Maka demi orang yang telah membangun Ka'bah ini,  dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku  memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya".
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt. telah mengabulkan doanya. Di saat itu, tembok Ka'bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali.  Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran. 
Abbas bin Abu Thalib langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan peristiwa yang baru saja disaksikannya itu kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu.  Namun mereka hanya mampu mengelilingi  Ka'bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya.  Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti  Fatimah keluar.
Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka'bah sambil menimang putranya  yang baru saja lahir.  Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali'".
Demikianlah kelahiran Imam Ali as. yang serba menakjubkan itu.
Semenjak masih dalam susuan Ali tumbuh besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw.  Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam kitab Nahjul Balaghah, Ali as. pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku".

Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as. tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw.  Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw., laksana  bayangan yang begitu setia mengikuti empunya. 
Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as. mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah bak seorang anak yang masih menyusu, selalu mengikuti ibunya.  Setiap hari, Rasulullah selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya.  Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau.  Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam  selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri.  Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di rumah kudus itu kucium  semerbak kenabian".
Ketika Allah swt. mengangkat Muhammad saw. sebagai Rasulullah untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkannya agar berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau segera menyuruh Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang lalu mengundang kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau seperti: Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.
Mengenang masa itu, Imam Ali as. menuturkan, "Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Mutallib, demi Allah,  aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah aku bawa untuk kalian.  Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat. 
'Ketahuilah, bahwa  Allah telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini serta menjadi saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua?
"Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab  seruan beliau.  Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda di antara mereka, 'Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu'.  Saat itu juga Rasul berkata, 'Inilah Ali sebagai saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua, maka dengarkanlah dan taatilah dia".

Masa Muda
Masa kanak-kanak berlalu begitu cepat.  Kini Ali as. telah menjadi seorang pemuda sempurna.  Sementara  ia masih terus mengikuti Rasulullah saw. ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.
Ali as. adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani.  Kekuatan dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Ali as. senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran.  Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.
Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari tunggang langgang meninggalkan Rasulullah saw. di awal pertempuran, Ali as. tetap tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.
Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as. memimpin pasukan muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi.  Padahal sebelumnya, penyerangan pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab. Kedua-duanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi. 
Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar.  Bahkan beliau mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkatnya dengan tangannya sendiri. 
Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.

Tebusan Pertama
Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian.  Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.
Ketika membaca sejarah Rasulullah saw. dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru.  Kita saksikan  betapa Imam Ali as. dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw.  sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as. masih sangat muda. 
Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw. itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun-Nadwah.  Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus beliau. 
Cara dan taktik yang mereka ambil ialah memilih satu orang pemuda  dari setiap kabilah Quraisy.  Mereka ditugaskan untuk menyergap rumah Rasulullah saw. pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.
Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw. akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut.  Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as. segera pergi menuju rumah Rasul saw. untuk bermalam di tempat tidur beliau. 
Dengan izin Allah swt,  Rasulullah saw. berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa  diketahui oleh mereka.  Mereka malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk  untuk  membunuh beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpainya tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw.  Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi  dalam keadaan malu dan penuh kecewa. 
Demikianlah Rasulullah saw. dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang setia, Imam Ali as.

Di Jalan Allah
Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak.  Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw. adalah demi membela diri dan mempertahankan agama. 
Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin.   Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih serta  kesatria demi mengangkat  “Kalimatullah”. 
Tatkala  kita mengkaji peperangan-peperangan  yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib mengambil andil yang sangat besar dalam kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqor itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar  dalam setiap medan peperangan. 
“Ali  senantiasa bersama hak, dan hak senantiasa bersama Ali” , demikian sabda Nabi saw. tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.

Akhlak  Mulia
Pada masa khilafah Imam Ali  as., Kufah merupakan ibu kota negara Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan kaum muslimin.
Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara kedua orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as.,  dan yang lainnya adalah seorang lelaki yang beragama Nasrani (Kristen).  Lelaki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau.  Berlangsunglah percakapan di antara kedua orang itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi dua;  yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya  mengarah ke suatu perkampungan. 
Imam Ali as. harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju  kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah. 
Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, ”Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?” 
Beliau menjawab, “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu”. 
Laki-laki Nasrani itu merasa  tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia”. Ia pun sangat terdorong untuk menyatakan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman lelaki itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., pemimpin negara Islam yang luas.

Keteguhan Imam Ali as.
 Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut.  Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia  tetap tenang dan tegar dalam setiap keadaan dan kondisi.  Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, yakni perbuatannya senantiasa mengiringi ridha  Allah swt. 
Perilaku Imam Ali as. di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat   senantiasa tunduk di bawah syariat dan undang-undang Islam.  Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah.  kaum muslimin menggali parit  untuk melindungi kota dari serangan musuh.  Situasi saat itu sangat genting dan begitu menentukan mati hidupnya umat Islam, terlebih lagi ketika Amr bin Abdi Wud dan sebagian pasukan kuda Quraisy berhasil  melompati parit tersebut.
Di hadapan barisan kaum muslimin,  Amr meneriakkan tantangannya kepada mereka untuk berperang tanding dengannya.  Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani. 
Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengan Amr, termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.  Pada kesempatan inilah Imam Ali as. bangkit memenuhi tantangannya.  Beliau maju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun rasa takut dalam hatinya.  
Sementara itu, Rasulullah saw. dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya”
Akan tetapi, Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari  bertanding duel dengan Imam  Ali. “Hai Ali, kembalilah! Aku tidak ingin membunuhmu”, begitu pinta Amr.  Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi aku ingin membunuhmu”. 
Mendengar jawaban itu, Amr begitu berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun  Ali  dengan cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut.  Untuk beberapa saat, kedua pemberani itu saling menyerang, menangkis dan menghindar. 
Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya  untuk menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang “Dzul Fiqar"-nya tepat mengenai sasaran yang membuat Amr jatuh tersungkur di atas tanah.  Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan Amr ketakutan dan mundur secara teratur. 
Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, Amr yang congkak itu malah  meludahi wajahnya.  Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula beliau mengurungkan niat untuk membunuh Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya  bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keihlasannya yang  murni kepada Allah swt. dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di semua medan pertempuran.  Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah Amr bin Abdi Wud  terhempas mati, Ali kembali membawa kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw.  Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru, dan gembira.  Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh Tsaqalain (jin dan manusia)”. Yakni, pukulan pedang  Imam Ali as. yang membelah badan Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa  mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan.  Tatkala menyaksikan jawaranya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar  Ali berteriak keras,  “Allahu Akbar”.
Seketika itu pula dada mereka bergetar bertalu-talu, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan. 
Akhirnya mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah,  dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan dan kekecewaan. 


Imam  Ali  as.  di Perang  Siffin
  Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang.  Manusia yang berjiwa kesatria laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.
Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik  kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah.  Perikemanusiaannya begitu tinggi  dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar atau hausnya musuh-musuh Islam sebagai senjatanya dalam menghadapi mereka, walaupun mereka sendiri sama sekali tidak menganggap penting akan perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling jahat  demi meraih kemenangan.  Dalam perang Siffin  misalnya, pasukan Muawiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as. untuk mendekati sungai tersebut.  Namun beliau mengingatkan mereka  bahwa ajaran Islam, kemanusiaan dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang dia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina. 
Pada saat itu, Imam Ali as. berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul”
Dengan serentak para prajurit Imam Ali as. menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut sungai  itu.
Kemudian para prajurit Imam Ali as. pun segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi,  Imam Ali as. segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan airnya sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.

Sang Pemimpin Yang  Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah kaum muslimin, Imam Ali as. menghadapi berbagai tantangan, bencana dan kesusahan hidup dunia.  Walaupun demikian, beliau sendiri  terjun langsung menangani  kemiskinan rakyatnya. 
Imam as.  sama sekali tidak memiliki  dendam  pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). 
Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili,  orang-orang yang dekat dengan beliau, dan rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai Amiril Mukminin Ali as. untuk mengadukan perlakuan buruk  seorang pegawai pajak terhadap dirinya.  Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan  wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya. 
Seusai salat, beliau menoleh kepadanya dan berkata dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?”. 
Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan  perlakuan buruk pegawaimu saat mengambil pajak dariku”. 
Mendengar hal itu, Imam Ali as. terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya  Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu”.
Setelah itu, beliau mengambil sepotong kulit dan menuliskan  sebuah perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah.  Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.
Pada suatu hari, Amiril Mukminin Ali as. menerima laporan dari kota Basrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif  telah  memenuhi undangan seorang kaya raya  dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sepucuk surat untuknya. 
Dalam surat itu, Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut.  Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan, bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata.  Akan tetapi, acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. 
Di dalam surat itu pula Imam as. menyampaikan berbagai saran dan  nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.  Beliau mengatakan:
“Wahai Ibnu Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu agar menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang beraneka warna.  Sungguh, aku tidak mengira bahwa engkau  sudi menghadiri jamuan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.
"Ketahuilah, sesungguhnya setiap rakyat  mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan diikuti petujuk dan cahaya ilmunya.  Ketahuilah, sesungguhnya pemimpinmu (Imam Ali as.) mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar,  dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering”.
Salah seorang sahabat Imam Ali as. yang bernama Ady bin Hatim At-Thaie pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau. Ia melukiskan, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat disisinya karena hak-haknya terpenuhi”.
Tentang keadaan hidupnya, Imam Ali  sendiri pernah menggambarkan, “Bagaimana mungkin aku  menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka”.   
Dalam pandangan Imam Ali as., kekuasaan dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sambil menjahit sandalnya,  “Menurutmu berapa harga sandalku ini?”. 
Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata,  “Sangat murah, bahkan tidak ada harganya”. 
Kemudian Imam Ali as. berkata, “Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan sampai aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan”.

Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as. menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (selain orang Arab) kecuali  dengan taqwa. Beliau pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya. 
Sebagian orang mengecam jalan pemerintahan Imam Ali as. ini. Mereka memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya.  Namun, beliau menolak dengan jawaban keras: “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?”
Beliau melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka akan aku bagi rata kepada seluruh rakyat, hanya saja harta itu  adalah milik Allah”.
Pada suatu hari, kakak Imam Ali as. yang bernama Aqil datang ke rumahnya.  Beliau menyambut gembira kedatangan sang kakak.  Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah  (alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?”. 
Beliau  menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”
Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as. demi menutupi hutangnya.  Imam as. berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku”. 
Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu?  Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?”. 
Imam as. membalas, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat pedagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya”. 
Aqil menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!”. 
Imam as. menjawab, “Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum muslimin”.
Demikianlah Imam kita, Ali bin Abi Thalib as. Beliau memimpin negara Islam dan menyelenggarakan pemerintahan yang adil dan bersih.
Beliau makan makanan kaum fakir  dan hidup dengan penuh kesederhanaan.   Ketika orang-orang berkata kepada beliau“Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang  untuk menggalang pendukung.  Lalu, mengapa engkau tidak melakukan hal yang sama?”. 
Imam as. menjawab, “Apakah kalian ini hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”.

Membela  Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya.  Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as.  Beliau segera keluar menuju rumah suami wanita yang malang itu.  Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya.  Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu tersebut. 
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan, ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perlakuannya kepada Imam.  
Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as., “Assalamualaikum, wahai Amirul Mukminin!”.  Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah khalifah kaum muslimin. 
Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam as. seraya memohon maaf dalam-dalam.  Pemuda itu berjanji kepada beliau, tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. 
Imam Ali as. menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.



Ghadir  Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah  saw. melaksanakan ibadah haji Wada’.  Bagi beliau, haji Wada’ adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan.  Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah swt.  
Sejak awal masa kenabian, seringkali Rasul saw.  menyampaikan perkara khalifah; yakni tentang siapakah orang yang kelak menjadi pengganti beliau dalam memimpin umat Islam sepeninggalnya. 
Nabi saw. senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as.  Mengenai kekhalifahannya, beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan  yang didengar langsung oleh para sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali”
Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah kota ilmu sedang Ali adalah pintunya”.
Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra. pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as.”.
Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw. yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku  berwasiat kepada kalian agar mencintai saudaraku, putra pamanku Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali orang munafik”.
Sampai pada 18 bulan Dzul Hijjah dari tahun itu, Rasulullah saw. kembali dari melaksanakan haji Wada' yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin.  Saat itulah Jibril as. turun membawa pesan langit untuk beliau. 
Rasulullah saw. menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum.  Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar berkumpul di tempat yang mulia dan bersejarah itu.  Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. 
Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama  lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya.  Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka apakah yang akan kalian katakan?”
Kaum mslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi  bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan”.
Nabi saw. melanjutkan, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan  Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata, Kebangkitan adalah nyata, Hari Akhirat itu tidak diragukan lagi  kejadiannya, dan sesungguhnya Allah swt. akan  membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur”
Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua”
Rasulullah saw. menengadah ke hadirat Allah, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka ini!”.
Lalau beliau menyambung khutbahnya, “Wahai sekalian manusia!  sesungguhnya Allah swt. adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian.  Maka, barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, inilah Ali sebagai pemimpinnya.   Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. 
"Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain), yaitu  'Kitabullah'  (Al-Qur’an) dan  'Ithrah' (Ahlul Bait)”.
Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin menyaksikan Nabi saw.  mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau.
Para sahabat   yang kemudian diikuti oleh  kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar setia) kepada Imam Ali as. dan mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam sejahtera atasmu wahai pemimpin kaum mukminin!”.

Nasib Khilafah
Rasulullah saw. telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Allah, sebagaimana yang telah beliau katakan di Gadir Khum.  Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu. 
Di tengah-tengah duka dan  kesedihan yang mendalam, tidak jauh di seberang sana berkumpul  sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat.  Dengan cara ini, mereka sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah.  Mereka membiarkan Imam Ali as. sendirian.  Beliau sendiri lebih memilih diam demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat itu. 
Setelah kemelut yang panjang  dan menegangkan, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya dilanjutkan oleh Umar bin Khattab. 
Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jawatan pemerintahannya.  Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan kerakusannya.  Maka, tersebarlah kerusakan di mana-mana.  Tak segan-segan keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh kezaliman.
Pada masa itu, kaum muslimin melihat  Utsman hanya mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam pemerintahannya, dan bahkan mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar. Lebih keras dari itu, ia pun berani memecut  seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan setia, yaitu Ammar bin Yasir, tanpa alasan dan bukti yang jelas.
Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.
Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara.  Dalam situasi itu, Imam Ali as. berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, sembari menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu  orang-orang munafik seperti: Marwan bin Hakam.  Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan arahan beliau.
Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya.  Mereka mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam bahaya.  Mengetahui hal itu Imam Ali as. segera mengutus kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain as. ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu  untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang hendak membunuhnya.
Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikap pemerintahannya, padahal kemarahan para pengunjuk rasa sudah mencapai titik didihnya. 
Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman.  Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.
Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan.  Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah Imam  Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima  khilafah, menjadi amiril mukminin,  dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan. 
Pada mulanya, Imam Ali as. menolak permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau   menerima tawaran tersebut. 
Mulailah Amiril Mukminin Ali as. menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam.  Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau.  Di dalamnya kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.

Pemerintahan  Yang Adil
Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam  Ali as. menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah swt., dan menindak segala macam kezaliman. 
Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi penindasan dan ketidakadilan  pada masa-masa  sebelumnya. Mereka telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandaskan pada hukum-hukum Allah; mereka  mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaannya saja.  Sementara itu, sebagian besar kaum muslimin  hidup dalam keadaan miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as. menjabat sebagai khalifah dan berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan.  Lain halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah  dan suka berfoya-foya.  Sebagian mereka sangat khawatir, bahwa suatu saat kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as. 
Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Imam Ali as.  berkobarlah  api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum muslimin.  Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang Siffin, lalu perang Nahrawan.

Hari Kesyahidan
Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan,  tiga orang durjana berkumpul untuk mendapatkan kata mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. 
Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi.  Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash dan Imam Ali as.  Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H, Ibnu Muljam melakukan rencana jahatnya. 
Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as. memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum muslimin di masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam, sampai mendekati beliau yang tengah bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau.  Darah suci  beliau memerahi mihrab dan pakaiannya.  Pemimpin yang adil itu meratap lemah sekaligus bangga, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Demi Tuhan ka’bah! Sungguh aku telah menang).
Pada saat itu, terdengar lamat-lamat suara dari langit, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh,  ....orang yang paling celaka telah membunuhnya". 
Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk.  Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as., beliau berkata kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?”
Ia menjawab, “Ya, betul”. 
Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam, akan tetapi Imam Ali as. mencegah mereka.  Bahkan beliau berpesan kepada putranya Hasan as. agar senantiasa memperlakukannya sebaik mungkin selama beliau masih hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as. menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as. melaksanakan hukum Qisas Islam terhadap pembunuh ayahnya itu. 
Demikianlah kesyahidan Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.
Sang pemimpin Islam yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw.  Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam.

Mutiara Hadis  Imam  Ali as.


·         "Janganlah engkau mencari kehidupan hanya  untuk makan.  Akan tetapi carilah makan agar engkau dapat hidup".
·         "Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat".
·         "Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian".
·         "Akal seorang penulis itu terletak pada penanya".
·         "Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan".
·         "Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu".
·         "Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan".
·         "Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar".
·         "Lebih baik engkau menanggung kekalahan sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim".

Quotes from 12 Imams

Mencintai keindahan adalah fitrah. Sampaikan keindahan Ahlul Bait dan keindahan ajaran mereka dengan cara yang indah. "Kalau manusia mendengar keindahan ucapan-ucapan kami, niscaya mereka akan mengikuti kami" (Imam Ridha as).

0 comments:

Post a Comment