Nama :
Ali bin Abi Thalib
Gelar :
Amirul Mukminin
Panggilan :
Abul Hasan
Kelahiran :
Makkah, 23 tahun Sebelum Hijrah
Kesyahidan :
Tahun 40 H
Masa Khilafah : 5 tahun
Usia :
63 tahun
Makam :
Najaf Asyraf, Irak
Hari
Lahir
Pada hari Jum'at, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun
sebelum Hijrah, lahirlah dari keluarga
Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam
semesta.
Ketika
paman Nabi saw. yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama
seorang lelaki yang bernama Qu'nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk
melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah
swt. Pandangan matanya tertuju ke langit
sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk.
Dalam
doanya itu ia berkata, "Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku
beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul
dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka.
Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil, dialah
yang membangun kembali Ka'bah yang mulia.
Maka demi orang yang telah membangun Ka'bah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku
ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah
kelahirannya".
Tidak lama setelah itu, terjadilah
peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt. telah mengabulkan
doanya. Di saat itu, tembok Ka'bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa
masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan
itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.
Abbas bin Abu Thalib langsung pulang ke
rumah untuk mengabarkan peristiwa yang baru saja disaksikannya itu kepada
keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka'bah bersama beberapa orang
wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun mereka hanya mampu mengelilingi Ka'bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam
kebingungan sambil menanti Fatimah
keluar.
Empat hari kemudian, barulah Fatimah
keluar dari dalam Ka'bah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi
mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali'".
Demikianlah kelahiran Imam Ali as. yang
serba menakjubkan itu.
Semenjak masih dalam susuan Ali tumbuh
besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw.
Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam kitab Nahjul
Balaghah, Ali as. pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil,
beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh
kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku".
Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as.
tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw.,
laksana bayangan yang begitu setia
mengikuti empunya.
Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali
as. mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah bak seorang anak
yang masih menyusu, selalu mengikuti ibunya.
Setiap hari, Rasulullah selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku
untuk mengikutinya. Setiap tahun aku
selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira, sementara tidak seorang pun
mengetahui kepergian beliau. Ketika itu,
tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga
adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya
wahyu dan risalah ilahi. Di rumah kudus itu kucium semerbak kenabian".
Ketika Allah swt. mengangkat Muhammad
saw. sebagai Rasulullah untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkannya agar
berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau
segera menyuruh Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang lalu mengundang
kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman
beliau seperti: Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.
Mengenang
masa itu, Imam Ali as. menuturkan, "Kemudian Nabi berpidato di hadapan
mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Mutallib, demi Allah, aku tidak pernah melihat di antara bangsa
Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama
daripada apa yang telah aku bawa untuk kalian.
Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat.
'Ketahuilah,
bahwa Allah telah memerintahkan kepadaku
agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara
kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini serta menjadi
saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua?
"Ketika
itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu
paling muda di antara mereka, 'Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi
pembela dan penolongmu'. Saat itu juga
Rasul berkata, 'Inilah Ali sebagai saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian
semua, maka dengarkanlah dan taatilah dia".
Masa Muda
Masa
kanak-kanak berlalu begitu cepat. Kini
Ali as. telah menjadi seorang pemuda sempurna.
Sementara ia masih terus
mengikuti Rasulullah saw. ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau
berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.
Ali as.
adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani. Kekuatan dan keberanian ini digunakannya
untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala
menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Ali as. senantiasa hadir dan ikut
serta dalam setiap peperangan dan pertempuran. Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya
dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.
Pada perang
Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari tunggang langgang meninggalkan
Rasulullah saw. di awal pertempuran, Ali as. tetap tampil tegar dan gigih
melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya,
sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.
Pada perang
Khaibar, Ali bin Abi Thalib as. memimpin pasukan muslimin untuk melakukan
serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi.
Padahal sebelumnya, penyerangan pasukan muslimin mengalami dua kali
kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua
dipimpin oleh Umar bin Khattab. Kedua-duanya dapat dipukul mundur oleh pasukan
Yahudi.
Penyerangan
ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol
benteng kokoh Khaibar. Bahkan beliau
mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkatnya dengan
tangannya sendiri.
Ketika kaum
Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur
tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.
Tebusan Pertama
Setiap
manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin
senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit
sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.
Ketika
membaca sejarah Rasulullah saw. dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan
merasa kagum dan penuh haru. Kita
saksikan betapa Imam Ali as. dengan
penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw. sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari
serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu,
padahal ketika itu Imam Ali as. masih sangat muda.
Rencana
pembunuhan atas diri Rasulullah saw. itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok
kaum musyrikin di Darun-Nadwah.
Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi
jiwa kudus beliau.
Cara dan
taktik yang mereka ambil ialah memilih satu orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan untuk menyergap rumah
Rasulullah saw. pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.
Wahyu Ilahi
turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw. akan tipu daya dan makar
jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut.
Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as. segera pergi menuju rumah
Rasul saw. untuk bermalam di tempat tidur beliau.
Dengan izin
Allah swt, Rasulullah saw. berhasil
keluar pada malam hari itu juga tanpa
diketahui oleh mereka. Mereka
malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka
berhasil masuk untuk membunuh beliau saw, ternyata yang mereka
dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpainya tengah berbaring
di atas tempat tidur Nabi saw. Mereka
pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi
dalam keadaan malu dan penuh kecewa.
Demikianlah
Rasulullah saw. dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang
setia, Imam Ali as.
Di Jalan Allah
Islam
adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan
dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua
peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw. adalah demi
membela diri dan mempertahankan agama.
Beliau
senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin. Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya,
kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih serta kesatria demi mengangkat “Kalimatullah”.
Tatkala kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam,
sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib mengambil andil yang sangat
besar dalam kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqor itu
senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar dalam setiap medan peperangan.
“Ali senantiasa bersama hak, dan hak senantiasa
bersama Ali” , demikian sabda Nabi saw. tentang Imam kita, Ali bin
Abi Thalib as.
Akhlak
Mulia
Pada masa
khilafah Imam Ali as., Kufah merupakan
ibu kota negara Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan
kaum muslimin.
Pada suatu
hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara kedua orang laki-laki. Satu
di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as., dan yang lainnya adalah seorang lelaki yang
beragama Nasrani (Kristen). Lelaki
Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau.
Berlangsunglah percakapan di antara kedua orang itu sambil berjalan,
hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi
dua; yang satu menuju kota Kufah dan
yang lainnya mengarah ke suatu
perkampungan.
Imam Ali
as. harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani
itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju
kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya
beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.
Laki-laki
Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, ”Bukankah Anda hendak kembali
ke Kufah?”
Beliau
menjawab, “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi
menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman
seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu”.
Laki-laki
Nasrani itu merasa tertarik dan ia
bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah
mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia”. Ia pun sangat terdorong untuk
menyatakan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman
lelaki itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman
perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.,
pemimpin negara Islam yang luas.
Keteguhan Imam Ali as.
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang
akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan
kondisi tersebut. Akan tetapi, pada
kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali
kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali
baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi
Thalib as. Ia tetap tenang dan tegar
dalam setiap keadaan dan kondisi.
Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya,
yakni perbuatannya senantiasa mengiringi ridha
Allah swt.
Perilaku Imam Ali as. di dalam rumah
tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah
masyarakat senantiasa tunduk di bawah
syariat dan undang-undang Islam. Beliau
telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul
bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin
hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah. kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan
musuh. Situasi saat itu sangat genting
dan begitu menentukan mati hidupnya umat Islam, terlebih lagi ketika Amr bin
Abdi Wud dan sebagian pasukan kuda Quraisy berhasil melompati parit tersebut.
Di hadapan barisan kaum muslimin, Amr meneriakkan tantangannya kepada mereka
untuk berperang tanding dengannya. Amr
bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani.
Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin
merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengan Amr, termasuk Abu Bakar,
Umar dan Utsman. Pada kesempatan inilah
Imam Ali as. bangkit memenuhi tantangannya.
Beliau maju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun rasa takut
dalam hatinya.
Sementara itu, Rasulullah saw. dengan
tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya
bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya”.
Akan tetapi, Amr bin Abdi Wud berusaha
menghindar dari bertanding duel dengan
Imam Ali. “Hai Ali, kembalilah! Aku
tidak ingin membunuhmu”, begitu pinta Amr.
Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi aku ingin membunuhmu”.
Mendengar jawaban itu, Amr begitu
berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali.
Namun Ali dengan cepat dapat menghindar dari serangan
pedang tersebut. Untuk beberapa saat,
kedua pemberani itu saling menyerang, menangkis dan menghindar.
Ali tidak memberikan peluang sedikit
pun kepada lawannya untuk menarik nafas.
Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang “Dzul
Fiqar"-nya tepat mengenai sasaran yang membuat Amr jatuh tersungkur di
atas tanah. Pemandangan tersebut membuat
kawan-kawan Amr ketakutan dan mundur secara teratur.
Namun, tatkala Ali hendak menghabisi
nyawanya, Amr yang congkak itu malah
meludahi wajahnya. Untuk sesaat
saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula beliau
mengurungkan niat untuk membunuh Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali
melakukan ini agar tebasan pedangnya
bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi
keihlasannya yang murni kepada Allah
swt. dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria teladan
bagi seluruh prajurit di semua medan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir
indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa
kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw.
Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru, dan gembira. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas
Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh Tsaqalain (jin dan manusia)”.
Yakni, pukulan pedang Imam Ali as. yang
membelah badan Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan
manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara
Ali bin Abi Thalib dengan Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu
dengan penuh ketegangan. Tatkala
menyaksikan jawaranya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, “Allahu Akbar”.
Seketika itu pula dada mereka bergetar
bertalu-talu, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan
peperangan.
Akhirnya mereka mengakhiri penyerangan
dan pengepungan kota Madinah, dan
kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan dan kekecewaan.
Imam Ali as. di
Perang Siffin
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak
diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang berjiwa kesatria laksana
pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam kita, Ali
bin Abi Thalib as.
Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang
telah terluka parah atau tercekik
kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah
menggunakan lapar atau hausnya musuh-musuh Islam sebagai senjatanya dalam
menghadapi mereka, walaupun mereka sendiri sama sekali tidak menganggap penting
akan perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam
tak segan-segan menggunakan cara yang paling jahat demi meraih kemenangan. Dalam perang Siffin misalnya, pasukan Muawiyah berhasil menguasai
sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah
prajurit Imam Ali as. untuk mendekati sungai tersebut. Namun beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan dan
kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi Muawiyah tidak
mempedulikannya, karena yang dia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan
tujuannya yang rakus dan hina.
Pada saat itu, Imam Ali as. berkata
kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga
pedang-pedang kalian dengan darah demi menghilangkan rasa haus kalian dengan
seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk,
dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul”.
Dengan serentak para prajurit Imam Ali
as. menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan
mudahnya mereka merebut sungai itu.
Kemudian para prajurit Imam Ali as. pun
segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak
meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi,
Imam Ali as. segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi
sungai dan tidak menggunakan airnya sebagai senjata, karena yang demikian itu
bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.
Sang Pemimpin Yang
Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai
Amiril Mukminin dan khalifah kaum muslimin, Imam Ali as. menghadapi berbagai
tantangan, bencana dan kesusahan hidup dunia.
Walaupun demikian, beliau sendiri
terjun langsung menangani
kemiskinan rakyatnya.
Imam as. sama sekali tidak memiliki dendam
pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi
beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap
dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara).
Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan
dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat,
famili, orang-orang yang dekat dengan
beliau, dan rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang wanita bernama
Saudah datang menjumpai Amiril Mukminin Ali as. untuk mengadukan perlakuan
buruk seorang pegawai pajak terhadap
dirinya. Ketika itu beliau sedang
melaksanakan salat. Tatkala bayangan
wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.
Seusai salat, beliau menoleh kepadanya
dan berkata dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan
untukmu?”.
Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku
ingin mengadukan perlakuan buruk pegawaimu
saat mengambil pajak dariku”.
Mendengar hal itu, Imam Ali as.
terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata,
“Ya Allah! Sesungguhnya Engkau
mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu”.
Setelah itu, beliau mengambil sepotong
kulit dan menuliskan sebuah perintah
untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau
serahkan kepada Saudah. Dengan gembira
wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.
Pada suatu hari, Amiril Mukminin Ali
as. menerima laporan dari kota Basrah bahwa gubernur kota itu yang bernama
Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya.
Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sepucuk surat untuknya.
Dalam surat itu, Imam Ali as. menegur
dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan
tersebut. Karena sesungguhnya
orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan, bukanlah sekedar
menyajikan jamuan makanan semata. Akan
tetapi, acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk
penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka.
Di dalam surat itu pula Imam as.
menyampaikan berbagai saran dan
nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik. Beliau mengatakan:
“Wahai Ibnu Hanif, telah sampai laporan
kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu agar menghadiri pesta
pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan
tersebut dengan jamuan makanan yang beraneka warna. Sungguh, aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri jamuan seseorang yang hanya
dihadiri oleh orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin tidak mereka
hiraukan.
"Ketahuilah, sesungguhnya setiap
rakyat mempunyai pemimpin yang harus
ditaati dan diikuti petujuk dan cahaya ilmunya.
Ketahuilah, sesungguhnya pemimpinmu (Imam Ali as.) mencukupkan tubuhnya
hanya dengan dua helai jubah yang kasar,
dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering”.
Salah seorang sahabat Imam Ali as. yang
bernama Ady bin Hatim At-Thaie pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan
beliau. Ia melukiskan, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di
sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi
kuat disisinya karena hak-haknya terpenuhi”.
Tentang keadaan hidupnya, Imam Ali sendiri pernah menggambarkan, “Bagaimana
mungkin aku menjadi seorang pemimpin
jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka”.
Dalam pandangan Imam Ali as., kekuasaan
dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas sambil menjahit sandalnya, “Menurutmu berapa harga sandalku ini?”.
Setelah memandang dan mengamati beberapa
saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat
murah, bahkan tidak ada harganya”.
Kemudian Imam Ali as. berkata,
“Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan
dan jabatan sampai aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan”.
Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah
kaum muslimin, Imam Ali as. menegaskan di hadapan khalayak bahwa
pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara
rakyat, bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (selain
orang Arab) kecuali dengan taqwa. Beliau
pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.
Sebagian orang mengecam jalan
pemerintahan Imam Ali as. ini. Mereka memberikan usulan agar beliau kembali
kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah
sebelumnya. Namun, beliau menolak dengan
jawaban keras: “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan
kezaliman?”.
Beliau melanjutkan, “Seandainya
harta negara itu adalah milikku sendiri, maka akan aku bagi rata kepada seluruh
rakyat, hanya saja harta itu adalah
milik Allah”.
Pada suatu hari, kakak Imam Ali as.
yang bernama Aqil datang ke rumahnya.
Beliau menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil
tidak melihat apa-apa di atas sufrah
(alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada
Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?”.
Beliau
menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”.
Kedatangan Aqil sebenarnya untuk
meminta bantuan kepada Imam Ali as. demi menutupi hutangnya. Imam as. berkata, “Tunggu sebentar, aku akan
ambilkan harta milikku”.
Aqil mulai merasa kesal dan berkata,
“Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu?
Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?”.
Imam as. membalas, “Kalau kau mau,
ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar
bersama-sama menuju kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat pedagang-pedagang
kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta
kekayaannya”.
Aqil menolak dan berkata, “Memangnya
aku datang untuk merampok!”.
Imam as. menjawab, “Mencuri harta
kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta
milik semua kaum muslimin”.
Demikianlah Imam kita, Ali bin Abi
Thalib as. Beliau memimpin negara Islam dan menyelenggarakan pemerintahan yang
adil dan bersih.
Beliau makan makanan kaum fakir dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, “Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan
kepada orang-orang untuk menggalang
pendukung. Lalu, mengapa engkau tidak
melakukan hal yang sama?”.
Imam as. menjawab, “Apakah kalian
ini hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”.
Membela Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang
sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali
as. Beliau segera keluar menuju rumah
suami wanita yang malang itu. Setibanya
di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang
pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu tersebut.
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya
itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan, ia
mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perlakuannya
kepada Imam.
Pada saat itu, beberapa orang yang
mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan
salam kepada Imam Ali as., “Assalamualaikum, wahai Amirul Mukminin!”. Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda
tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah khalifah
kaum muslimin.
Tak pelak lagi, ia pun gemetar
ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam as. seraya
memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu
berjanji kepada beliau, tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut.
Imam Ali as. menasihati kedua
suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka
terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.
Ghadir Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah saw. melaksanakan ibadah haji Wada’. Bagi beliau, haji Wada’ adalah haji terakhir
sekaligus haji perpisahan. Beliau merasa
sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah swt.
Sejak awal masa kenabian, seringkali
Rasul saw. menyampaikan perkara khalifah;
yakni tentang siapakah orang yang kelak menjadi pengganti beliau dalam memimpin
umat Islam sepeninggalnya.
Nabi saw. senantiasa berfikir bagaimana
caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhalifahannya, beliau memberikan
berbagai isyarat dan penegasan yang
didengar langsung oleh para sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan
kebenaran senantiasa bersama Ali”.
Atau sabda beliau lainnya, “Aku
adalah kota ilmu sedang Ali adalah pintunya”.
Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra. pernah
berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan
mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as.”.
Lain dari itu, para sahabat pun pernah
mendengar wasiat Nabi saw. yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai
saudaraku, putra pamanku Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang
mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali
orang munafik”.
Sampai pada 18 bulan Dzul Hijjah dari
tahun itu, Rasulullah saw. kembali dari melaksanakan haji Wada' yang diikuti
oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin.
Saat itulah Jibril as. turun membawa pesan langit untuk beliau.
Rasulullah saw. menghentikan
perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar
berkumpul di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya
terik matahari yang membakar, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum
muslimin dan seluruh para sahabatnya.
Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas,
tak lama lagi aku akan dipanggil oleh
Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya.
Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian,
maka apakah yang akan kalian katakan?”.
Kaum mslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya
kami bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan
nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan”.
Nabi saw. melanjutkan, “Bukankah
kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya?
Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata,
Kebangkitan adalah nyata, Hari Akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya, dan sesungguhnya Allah swt.
akan membangkitkan orang-orang yang
berada di dalam kubur”.
Kaum muslimin menjawab lagi dengan
serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua”.
Rasulullah saw. menengadah ke hadirat
Allah, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka ini!”.
Lalau beliau menyambung khutbahnya, “Wahai
sekalian manusia! sesungguhnya Allah
swt. adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan
sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang-orang yang
mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya.
"Dan sesungguhnya aku meninggalkan
untuk kalian dua pusaka (tsaqalain), yaitu
'Kitabullah' (Al-Qur’an) dan 'Ithrah' (Ahlul Bait)”.
Pada siang itu, puluhan ribu kaum
muslimin menyaksikan Nabi saw.
mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. sebagai cara pelantikannya
menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau.
Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar
setia) kepada Imam Ali as. dan mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam
sejahtera atasmu wahai pemimpin kaum mukminin!”.
Nasib Khilafah
Rasulullah saw. telah mangkat
meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Allah,
sebagaimana yang telah beliau katakan di Gadir Khum. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan
kepergiannya itu.
Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di
seberang sana berkumpul sekelompok umat
Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai
pemimpin umat. Dengan cara ini, mereka
sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah. Mereka membiarkan Imam Ali as.
sendirian. Beliau sendiri lebih memilih
diam demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat
itu.
Setelah kemelut yang panjang dan menegangkan, akhirnya Abu Bakar
dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya
dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.
Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di
tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai
jawatan pemerintahannya. Mereka dapat
memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan
kerakusannya. Maka, tersebarlah
kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan
keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman
dengan penuh kezaliman.
Pada masa itu, kaum muslimin
melihat Utsman hanya mengutamakan
keluarganya untuk duduk di dalam pemerintahannya, dan bahkan mengasingkan
sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar. Lebih keras dari itu, ia pun
berani memecut seorang sahabat Nabi yang
sangat dekat dan setia, yaitu Ammar bin Yasir, tanpa alasan dan bukti yang
jelas.
Kenyataan ini membuat kaum muslimin
segera mengadakan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut
Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.
Api amarah masyarakat muslim terhadap
Utsman semakin membara. Dalam situasi
itu, Imam Ali as. berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, sembari
menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan
menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik seperti: Marwan bin
Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli
pada nasihat dan arahan beliau.
Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin
mencapai puncaknya. Mereka mengadakan
pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam
bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as.
segera mengutus kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain as. ke istana khilafah
dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan
orang-orang yang hendak membunuhnya.
Dalam kondisi yang sudah sangat genting
seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikap pemerintahannya,
padahal kemarahan para pengunjuk rasa sudah mencapai titik didihnya.
Puncak kemarahan tersebut meledak
ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga
akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.
Khalifah Utsman pergi meninggalkan
dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi
rumah Imam Ali as. Mereka memohon
kepadanya agar menerima khilafah,
menjadi amiril mukminin, dan memimpin
umat Islam dengan penuh keadilan.
Pada mulanya, Imam Ali as. menolak
permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya
beliau menerima tawaran tersebut.
Mulailah Amiril Mukminin Ali as.
menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan
undang-undang Islam. Panji kebenaran dan
keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum muslimin pun kembali
menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.
Pemerintahan Yang
Adil
Sejak hari pertama khilafah dan
kepemimpinannya, Imam Ali as. menegaskan
di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan
undang-undang Allah swt., dan menindak segala macam kezaliman.
Masyarakat muslim telah terbiasa
menghadapi penindasan dan ketidakadilan
pada masa-masa sebelumnya. Mereka
telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandaskan pada hukum-hukum
Allah; mereka mengistimewakan sebagian
dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya
kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaannya saja. Sementara itu, sebagian besar kaum
muslimin hidup dalam keadaan miskin dan
penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as. menjabat
sebagai khalifah dan berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin,
terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh
harapan. Lain halnya dengan orang-orang
kaya yang biasa hidup mewah dan suka
berfoya-foya. Sebagian mereka sangat
khawatir, bahwa suatu saat kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik
dengan keadilan Ali as.
Karena itu, mereka segera bergerak
cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Imam Ali
as. berkobarlah api permusuhan dan peperangan di dalam negara
dan di antara sesama kaum muslimin.
Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara
mereka. Setelah itu terjadi perang Siffin, lalu perang Nahrawan.
Hari Kesyahidan
Setelah kaum Khawarij mengalami
kekalahan besar dalam perang Nahrawan,
tiga orang durjana berkumpul untuk mendapatkan kata mufakat, yaitu
membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang dalam
mencapai tujuan-tujuan mereka.
Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam,
Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad
untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash dan Imam Ali as. Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk
melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H, Ibnu Muljam
melakukan rencana jahatnya.
Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as.
memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum muslimin di masjid Kufah, Irak.
Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam, sampai mendekati beliau yang tengah
bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera
menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau. Darah suci
beliau memerahi mihrab dan pakaiannya.
Pemimpin yang adil itu meratap lemah sekaligus bangga, “Fuztu wa
Rabbil Ka’bah” (Demi Tuhan ka’bah! Sungguh aku telah menang).
Pada saat itu, terdengar lamat-lamat
suara dari langit, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang
yang paling takwa telah terbunuh,
....orang yang paling celaka telah membunuhnya".
Ibnu Muljam berusaha melarikan diri
dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as.,
beliau berkata kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?”
Ia menjawab, “Ya, betul”.
Sebagian orang berusaha untuk melakukan
pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam, akan tetapi Imam Ali as. mencegah
mereka. Bahkan beliau berpesan kepada
putranya Hasan as. agar senantiasa memperlakukannya sebaik mungkin selama
beliau masih hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as.
menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as. melaksanakan
hukum Qisas Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.
Demikianlah kesyahidan Imam kita, Ali
bin Abi Thalib as.
Sang pemimpin Islam yang adil itu meninggalkan dunia
pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah
secara rahasia di kegelapan malam.
Mutiara Hadis Imam Ali as.· "Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan tetapi carilah makan agar engkau dapat hidup".· "Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat".· "Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian".· "Akal seorang penulis itu terletak pada penanya".· "Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan".· "Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu".· "Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan".· "Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar".· "Lebih baik engkau menanggung kekalahan sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim".
0 comments:
Post a Comment