Pesta baru saja usai, tenda dan baliho mulai dicopot, piring-piring bekas nasi goreng dan mangkok bakso sudah dicuci bersih kembali dan diletakkan di lemari tamu. Karpet merah sudah digulung terlebih dahulu karena takut keduluan tetesan hujan. Bukan tamu sembarang tamu, ini adalah tamu agung yang baru saja menginjakkan kakinya di negeri penghasil rambutan terbesar di dunia dan eksportir bakso kedua setelah China. Bukan itu saja, ternyata kita masih punya segudang predikat kuliner yang akan selalu dikenang oleh sang tamu. Untuk sekelas kepala Negara manapun, tidak akan mampu berkompetisi kemuliaan dengan tamu agung negeri ini.
Detik-detik kedatangannya pun diabadikan seperti menunggu kelahiran bayi pertama, penuh harap cemas, takut-takut sudah mules gagal lagi. Saat roda pesawat mendarat, perasaan gundah lenyaplah sudah, terlebih ketika pintu pesawat terbuka, lambaian tangan dan senyum riang sekujur tubuhnya menandakan suka cita.
Tamu kita telah datang, yang sebelumnya dua kali gagal bertandang, sekarang tampak jelas di layar kaca. Untuk menjaga kesucian tamu, para kuli tinta yang biasanya seperti laron, terpaksa harus gigit jari, mereka tidak boleh mendekat dan diharuskan berada sejauh mungkin dari lokasi, persis ketika meliput letusan Merapi.
Tepat pukul 16.30, iring-iringan tamu agung keluar dari bandara Halim Perdanakusuma, semua mata memandang atau tepatnya dipaksa menyambut karena semua kendaraan diwajibkan berhenti melakukan aktifitas dan secara terpaksa pula harus ikut upacara penyambutan. Ketika ditanya oleh seorang wartawan, si pengemudi menjawab "Namanya juga rakyat kecil mau apa lagi". Luar biasa makhluk yang mempunyai ikhtiar dipaksa untuk tidak memiliki pilihan.
Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan, entah pertanda rahmat atau menangisi negeri ini. Suasana di Istana Negara juga tampak megah dan penuh kegundahan, takut-takut ada kemacetan di silang pancoran atau kuningan. Sim salabim suara sirine mengaung-ngaung sampai ke tugu Monas pertanda rombongan sudah semakin dekat. Padahal tadi baru saja mendarat, kok bisa secepat kilat? Ini pertanda Jakarta sudah berubah tidak lagi menjadi kota macet, buktinya dari Halim sampai Istana tidak sampai setengah jam. Pokoknya luar biasa, wartawan yang biasa protes tidak dapat angel yang tepat untuk membidik, juga rido tidak ada nota protes alias nerimo.
Dimana letak keagungan sang tamu kita ini? Ternyata beliau pernah tinggal di ibu kota dan pandai melafalkan kata-kata bakso, nasi goreng, emping, bahkan salam islamipun beliau mampu melafalkannya dengan baik, sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, makhrojnya pun pas, luar biasa. Setiap kata-kata itu terucap mulai dari ruang istana sampai kampus Uuniversitas Indonesia, menjadikan hadirin histeris. Seakan tidak mungkin kata tersebut bisa diucapkan oleh seorang Mr. Presiden.
Dan inilah yang kita harus tiru jadilah tamu seperti beliau, tamu yang tidak mau menyusahkan tuan rumah, tamu yang membawa semua perlengkapan sendiri mulai dari satuan keamanan sampai kendaraan. Tamu yang merasa di rumah sendiri bahkan sampai si empunya rumah merasa yang menjadi tamu. Tamu yang mengajari tuan rumah tentang pentingnya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Tamu yang siap mengatur dan jangan ada yang berani mengatur jam berapa datang dan kapan ia harus kembali. Selamat jalan Mr. Obama, Anda telah mengajari kita banyak hal, termasuk etika bertamu. Kelak para pejabat kita akan datang ke negeri Anda dengan cara yang telah Anda ajarkan. [fh]
sumber: http://politikana.com/baca/2010/11/11/siapa-tuan-rumah-siapa-tamu.html
0 comments:
Post a Comment