Contributors

Don't miss

Wednesday, January 4, 2012

Mengarifi Konflik Sunni Syiah di Madura


By on 1/04/2012 02:08:00 AM

Konflik sunni syiah pecah di Sampang, salah satu basis terkuat kaum sunni tradisional di Jawa Timur. Konflik yang berpuncak pembakaran pesantren, madrasah, musholla dan rumah tokoh Syiah, Tajul Muluk terjadi pada Kamis 29 Desember kemarin.

Pemberitaan di berbagai media menyebutkan konflik ini merupakan konflik keluarga yang ditarik kearah konflik sektarian. Konflik keluarga inilah yang mengemuka di beberapa media. Padahal ketidaksukaan masyarakat sunni Madura terhadap syiah terjadi bukan hanya di Sampang tapi juga di Bangkalan dan Sumenep.

Inilah Hidden meaning (apa yang tersembunyi) dari realitas keseharian relasi antara sunni-syiah di Madura. Realitas di lapangan tentang ketidaksukaan kaum sunni terhadap syiah jarang mengemuka. Padahal, faktor inilah sebenarnya pemicu serbuan massa dari empat desa ke pesantren syiah di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Omben Sampang. Syiah sendiri hadir dalam bentuk yang tidak monolitis di Madura sejak puluhan tahun lalu.

Arah penyebaran syiah biasanya dimulai oleh alumni pesantren Yapi, Bangil Pasuruan. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, kaum muda syiah juga dijumpai ada yang alumni Iran. Fokus penyebarannya dipusatkan di desa-desa maupun di kota-kota. Penyebar gagasannya adalah gabungan antara warga pribumi Madura dan keturunan Arab.

Menurut Habib Muhammad Baharun dalam disertasinya di IAIN Sunan Ampel berjudul Tipologi Pemahaman Doktrin Syiah di Jawa Timur (2006), syiah di Jawa Timur terbagi menjadi tiga kelompok yaitu syiah ideologis, syiah su-si (sunni syiah) dan syiah simpatisan. Syiah ideologis yaitu mereka yang mengamalkan doktrin syiah secara total serta syiah su-si adalah syiah yang mengamalkan doktrin syiah separuh saja.

Separuh pemahamannya sunni dan separuh pemahamannya syiah. Adapun syiah simpatisan adalah syiah yang hanya bergerak pada rasa simpati dan apresiasi terhadap pemikiran tokoh-tokoh syiah seperti Ali Syariati, Mutahhari dan lainnya.

Syiah Madura pada umumnya adalah syiah su-si yaitu syiah yang pemahamannya separuh sunni dan separuh syiah. Hal ini wajar terjadi di Madura, karena warga Madura masih teramat sulit untuk melepaskan diri dari pemahaman leluhurnya yang ahlu sunnah wal jamaah. Syiah Madura merayakan maulid nabi, haul dan acara keagamaan ala kaum sunni lainnya.

Perayaan maulid maupun haulpun disinyalir bukan saja milik sunni namun juga milik syiah.
Penggagasnya adalah sultan Mu’iz Lidinillah, seorang raja syiah. Haulpun banyak dilakukan komunitas syiah pada masa lalu, utamanya haul para Imam. Meskipun, di Madura sendiri jarang diselenggarakan haul para Imam. Kaum syiah Madura juga memperlakukan secara istimewa lima tokoh keagamaan mereka, Nabi Muhammad, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra, Hasan dan Husein.

Di kalangan sunni Madura perlakuan ini juga biasa dilakukan seperti pada syair Li Khamsatun dan Li Asyaratun kaum sunni yang diantaranya memuji Rasul, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Bahkan di pintu-pintu rumah orang Madura sering dijumpai rajah yang kalau diterjemahkan berbunyi aku berlindung dengan perantaraan Muhammad, Ali, Fatimah, Husein dan Hasan. Rajah jenis ini dipakai sejak lama dan tak ada kaitannya dengan syiah.

Persinggungan tradisi ini menunjukkan ada tradisi yang berdekatan antara sunni dengan syiah di Madura. Persoalan menjadi lain manakala perayaan maulid syiah diisi dengan ceramah agama yang biasanya berbau khas syiah sebagai cara mendakwahkan agamanya dan ini yang menjadi sebab penolakan warga sunni pada tahun 2007 lalu ketika kaum syiah Sampang hendak merayakan maulid nabi.

Namun, untuk merayakan ritual khas syiah seperti asyura dan arbain, kaum syiah Madura belum berani melakukan itu. Biasanya mereka merayakannya dengan bergabung pada perayaan serupa di tanah Jawa. Syiah ideologis belum dijumpai secara massif di Madura, karena mereka biasanya melakukan taqiyyah. Sementara syiah simpatisan atau syiah pemikiran dijumpai secara sporadis pada individu-individu tertentu di Madura, biasanya adalah kalangan terpelajar.

Pemahaman syiah Madura justru sama dengan pemahaman syiah Imamiyah pada umumnya. Jenis syiah Zaidiyah yang moderat tak dijumpai di Madura sekarang. Begitupula syiah yang lebih ekstrem seperti syiah Ismailiyah. Semestinya, syiah Zaidiyah lebih banyak dijumpai di Madura karena penyebar ajaran syiah pertama kali adalah keturunan Arab Hadramaut. Bisa jadi, dulunya mereka syiah Zaidiyah namun karena ada faktor transformasi pemikiran Iran, syiah mereka menjadi Imamiyah.

Pemahaman yang jamak dijumpai adalah pemahaman yang menyembunyikan doktrin aslinya dihadapan publik ala syiah Imamiyah. Doktrin asli tentang pendiskualifikasian para sahabat dan istri nabi utamanya Aisyah dijumpai dalam pengajian-pengajian tertutup kaum syiah. Sebagian syiah Madura juga memiliki doktrin tentang interpolasi Quran. Menelusuri pemahaman kaum syiah ini bukan saja teramat sulit karena taqiyyahnya tapi juga karena syiah Madura adalah syiah yang berada dalam tahap konsolidasi.

Ketidaksukaan warga sunni Madura muncul ketika beberapa individu syiah melakukan ibadah yang bagi kalangan awam sunni Madura terasa aneh, seperti azan yang berbeda, cara shalat yang kelihatan janggal karena tidak bersedekap dan membawa batu kecil serta persoalan shalat jamak Dhuhur-ashar dan maghrib-isya’. Adapun tentang kawin kontrak (nikah mut’ah) masih belum dijumpai dilakukan oleh kaum syiah Madura.

Persoalan khilafiah ini sensitif di kalangan awam Madura. Pasalnya, jangankan syiah, kaum Islam modernispun yang memiliki praktek berbeda sering diacuhkan oleh orang Madura. Lelucon yang menyebut agama orang Madura adalah NU memang benar adanya. Kaum muslim Madura memang fanatik terhadap Islam ala Ahlu Sunnah Wal Jamaah sejak dulu sampai kini.
Sindiran orang Madura terhadap muslim modernis seperti Muhammadiyah dan Persis adalah Islam ongghu’, suatu istilah yang mendekati makna abangan dalam diskursus keislaman di Jawa. Di Madura juga ada ungkapan humoris ”jadilah orang Islam yang baik, minimal Muhammadiyah”. Ini bukti bahwa kesunnian Madura memang berpaut erat dengan tipologi sunni tradisional.

Ironisnya, ketika konflik pecah, banyak yang kemudian mempersoalkan serangan massa sunni terhadap syiah tanpa sempat meninjau secara jelas penyebab serangan itu terjadi. Secara hukum, tindakan tersebut memang tidak benar. Pelakunyapun harus diusut tuntas. Para penganut syiah juga harus dilindungi dari segala macam kekerasan.

Namun, seharusnya, syiah juga menyikapi dengan bijak pola-pola dakwahnya selama ini agar tidak mendapat respon negatif dari masyarakat. Syiah Madura harus lebih arif dalam menyampaikan dakwahnya di tengah masyarakat. Tak ada asap tanpa ada api. Begitupun pembakaran ponpes syiah tanggal 29 Desember lalu. Semuanya terjadi karena dakwah syiah tak disukai masyarakat.

Syiah sendiri adalah satu kelompok dengan tipe beragam dengan aneka pemahaman. Doktrin-doktrinnya tidak monolitis namun juga pluralis. Syiah Madura seharusnya memilih doktrin-doktrin yang lebih dekat dengan doktrin kaum sunni untuk meminimalisir konflik. Contoh besarnya dalam masalah interpolasi Al Quran, kaum syiah seharusnya juga mempertimbangkan pendapat para ulama syiah yang mengatakan bahwa Al Quran terpelihara dari zaman ke zaman. Para ulama itu misalnya Zainuddin Al Bayadh, Fathullah Al Kasyani, Al Allamah Husein Thabataba’i dan Ali Al Fadhl Bin Hasan Al Tabarsyi.

Para ulama ini melahirkan antitesis terhadap para ulama syiah yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami perubahan. Sayang kaum syiah Madura masih terpaku dengan pemikiran ala Nikmatullah Al Jazairi, Al Kulaini, Al Qummi, Al Nuri Al Tabarsyi dan Muhammad Al Mufid yang berpendapat bahwa dalam Quran telah terjadi perubahan.

Kecenderungan ini sebenarnya kecenderungan kaum syiah di Jawa Timur. Kecenderungan lainnya adalah diskualifikasi terhadap para sahabat nabi terutama tiga Khulafaur Rasyidin. Kecenderungan ini sudah pasti akan memancing konflik terus menerus dengan kaum sunni. Apalagi, kategori syiah pemikiran atau syiah simpatisan tak begitu membumi di Madura. Absennya syiah pemikiran di Madura pada gilirannya takkan menambah sesuatu yang baru pada pemikiran keagamaan di Madura.

Syiah pemikiran biasanya adalah tipologi syiah intelektual yang kaya diskursus dan gagasan progresif dan itu akan menambah swalayan keberagamaan di Madura. Ketiadaan syiah pemikiran pada gilirannya hanya akan memberi kesempatan syiah su-si menjadi syiah ideologis yang memiliki perbedaan akidah dan fikih secara tajam dengan kaum sunni Madura. Hasil akhirnya pasti bisa ditebak. Konflik berkelanjutan di bumi Madura.

Syiah Madura harus memahamai persoalan ini. Ekstremitas fikih dan juga akidah sudah pasti akan memperuncing persoalan. Alangkah baiknya kalau syiah Madura mengembangkan ciri hidup tasawuf seperti kecenderungan kaum syiah Persia dan menghindari perdebatan fikih dan akidah. Transformasi pemikiran tasawuf syiah bukan saja dapat memperkaya kehidupan sufisme di Madura yang telah mapan, namun juga karena struktur tasawuf syiah banyak mirip dengan struktur tasawuf sunni.

Dalam syiah juga ada struktur Quthbul Aqthab, aqthab, arba’ah, arbain, meski terdapat tambahan seperti imam, ayatullah dan ruhullah. Tasawuf syiah juga banyak berpadu dengan tasawuf sunni terutama pada silsilah yang melibatkan Salman Al Farisi dan Sayyidina Ali.
Persoalan syiah-sunni di Madura juga buah dari transformasi petroreligiositas yang digencarkan secara besar-besaran sejak era reformasi.

Negara-negara yang kaya minyak seperti Iran dan Arab Saudi rajin menyebarkan paham keagamaannya dengan dukungan dana minyak yang melimpah ruah. Persoalan ini akan semakian rumit di masa depan. Kalau acuannya adalah sunni tradisional seperti NU sebagai pemahaman mayoritas orang Madura, maka konflik bukan saja akan terjadi antara massa sunni dengan syiah tapi juga dengan kelompok salafi.

Di Madura, saat ini juga lahir semacam sentimen terhadap kelompok Salafi. Motifnya juga sama. Salafi banyak memiliki perbedaan dengan pemahaman mayoritas muslim Madura. Di beberapa tempat, ketidaksukaan terhadap salafi mulai tumbuh subur, namun masih dapat diredam. Sepertinya, petroreligiositas masih akan menimbulkan konflik lagi di masa depan.
Kita berharap agar semua pihak arif dalam memahami persoalan konflik sunni syiah ini. Jangan jadikan Madura sebagai Irak kedua atau Yaman kedua! (*)

(Artikel ini ditulis oleh Syarif Hidayat Santoso. Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan. Berdomisili di Sumenep)

(Dikutip dari http://news.okezone.com/read/2011/12/31/340/549837/mengarifi-konflik-sunni-syiah-di-madura)

Quotes from 12 Imams

Mencintai keindahan adalah fitrah. Sampaikan keindahan Ahlul Bait dan keindahan ajaran mereka dengan cara yang indah. "Kalau manusia mendengar keindahan ucapan-ucapan kami, niscaya mereka akan mengikuti kami" (Imam Ridha as).

0 comments:

Post a Comment