Seorang warga desa Pandan, Kecamatan Omben, Sampang, Jawa timur, menjadi tersangka pembakaran Pesantren Syiah. Pria berinisial M itu menjadi tersangka setelah polisi memeriksa sejumlah saksi dan rekaman VCD atau video. M menjadi tersangka, pembakaran rumah Syaiful Ulum, yang merupakan pengikuti syi’ah. Ia dijerat pasal 187 KUHP tentang perusakan dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Polisi juga masih memburu delapan orang yang diduga terlibat aksi pembakaran itu. Mereka dilaporkan korban pembakaran sebagai pelaku. “Kami terus melakukan pendalaman, kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution. Tapi polisi masih akan mengumpulkan bukti bukti sebelum menahan delapan orang yang diduga ikut membakar pesantren dan rumah pengikut syi’ah.
Aksi pembakaran pesantren syiah dan rumah para pengikutnya di desa Karang Gayam, Sampang Madura terjadi Kamis (29/12). Amuk massa itu dipicu konflik internal keluarga yang kebetulan beraliran Sunni dan Syiah. Dua warga yang memulai konflik, Roisul Hukama dan Tajul Muluk sekarang sedang dijadikan saksi dalam pemeriksaan. Kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama ini, seperti mengulang kisah munculnya konflik syi’ah dan sunni, yang dipicu perbedaan pendapat terkait imammah setelah Rasulullah SAW, wafat..
Sepeninggal Rasulullah SAW, minoritas syi’ah berpisah dengan ahlussunnah. Saat itu, ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setianya sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang memiliki kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan, yang bernama Saqifah Bani Sa’idah. Pertemuan itu untuk menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu diputuskan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Setelah pengikut Imam Ali a.s, selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendapat kabar, jika khalifah muslimin sudah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s,. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak sah. Tapi protes itu hanya dijawab “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik saat itu. Akibatnya, muncul dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal Rasulullah SAW. Namun belakangan pihak mayoritas mengabarkan kepada masyarakat bahwa minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam. Meski ada tekanan dari kelompok mayoritas, pengikut Imam Ali a.s masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama, terjadi banyak penyelewengan dalam pemerintahan. Mulai dari diamnya pemerintah atas pembunuhan yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata, sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Rasulullah SAW, hingga penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, serta pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga dibunuh para “pemberontak” yang memprotes kinerja pemerinatahannya, masyarakat memilih Imam Ali a.s, sebagai khalifah ke empat. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengan Imam Ali a.s pada tahun 5 Hijriah, adalah Thalhah dan Zubair. Meski Imam Ali hanya memerintah sekitar 4 tahun 5 bula, tapi ia membuat. perombakan secara besar-besaran. Ia mengganti semua gubernur daerah dengan orang yang layak untuk memegang jabatan tersebut, dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat.
Tapi pembagian harta baitul mal itu justru menjadi pemicu perang Jamal. Kondisi itu justru disebabkan rasa sakit hati sahabat Imam Ali.as, Thalhah dan Zubair. Sebagai sahabat senior, keduanya tak terima jika disamaratakan dengan masyarakat umum terkait pembagian harta baitul mal . Thalhah dan Zubair, mngajak A’isyah, yang memang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali a.s, untuk memberontak. Mereka menggunakan slogan membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak ada upaya untuk membela.
Selepas perang Jamal, muncul perang Shiffin. Perang itu dipicu kekecewaan Mu’awiyah atas khilafah, karena ia disingkirkan Imam Ali a.s. dari kursi Gubernur Syam. Perang itu berlangsung selama 1,5 tahun dengan korban jiwa cukup banyak. Slogan yang digunakan Mu’awiyah masih sama, membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan Mua’wiyah yang bercokol di Syam. Tapi bantuan itu tak pernah datang. Muawiyah memang mengirim satu pleton pasukan, yang berangkat dari Syam ke Madinah. Tapi di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.
Perang Shiffin berhasil dipadamkan, kembali muncul perang Nahrawan. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali a.s. juga berhasil memadamkan api perang tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah. Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat membai’at Imam Hasan a.s. memegang tampuk khilafah. Tapi Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia mengirim pasukan ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk berperang melawan pemerintahan yang sah.
Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H. Ia langsung menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada pengikut Syi’ah untuk bernafas tenang. Setiap ada orang yang diketahui pengikut Syi’ah, langsung dibunuh. Bahkan mereka yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., juga menjadi korban pembunuhan. Kebiasaan itu berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang dilakukan para sahabat, khususnya Mu’awiyah dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAW, dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi hadis yang mereka terima. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad yang telah mereka lakukan.
Tapi kaum Syi’ah menolak asumsi itu dengan alasan, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujud, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya. Segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan lalu dimaafkan.
Selain itu hadis yang “menyucikan” para sahabat, dan membenarkan perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Sejarah membuktikan, mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka justru saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan. Dengan melihat kelaliman yang dilakukan para khalifah saat itu, pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka.
Ada baiknya kita memahami pernyataan Sayyid Hadi Khosrushagi, dalam sebuah konferensi tentang Pemikiran Islam yang diselenggerakan di al-Jazair. Wakil Imam Khomeini itu mengatakan, “Musuh-musuh kita tidak membedakan Sunni dan Syiah. Mereka hanya mau menghancurkan Islam sebagai sebuah ideologi dunia. Oleh karena itu, segala kerja sama dan langkah demi menciptakan perbedaan dan pertentangan antara muslimin dengan tema Syiah dan Sunni berarti bekerja sama dengan kufr dan memusuhi Islam dan kaum muslimin” (faktapos.com)
0 comments:
Post a Comment